Sudah hampir 69
tahun bangsa Indonesia hidup dalam balutan kemerdekaan dan dalam waktu yang
cukup lama itu negara ini telah menerapkan sistem presidensial, walaupun untuk
beberapa tahun sempat beralih ke sistem parlementer. Sejak bangsa Indonesia
memproklamasikan kemeerdekaannya pada tahun 1945 sampai dengan saat ini,
Indonesia telah berganti pemimpin negara sebanyak enam kali. Memang tidak mudah
untuk melewati masa – masa tempo dulu tersebut, hingga kini kita dapat
menghirup udara yang setidaknya merupakan hasil dari perjuangan para pendahulu
kita. Banyak sudah waktu yang tersita, darah yang ditumpahkan, jiwa yang
dikorbankan bagi tercapainya cita – cita luhur bangsa. Sejarah yang kemudian
tercatat dengan tinta – tinta emas dalam bilik buku yang kini mungkin hanya
berbentuk kumpulan-kumpulan kertas kusam.
Bung Karno,
presiden pertama Indonesia pernah mengingatkan tentang istilah Jasmerah (Jangan
Sekali-Sekali Melupakan Sejarah), sebab kenangan akan sejarah teramat berharga
dalam mengenali jati diri bangsa. Bangsa yang kuat adalah bangsa yang
menghargai sejarahnya, bangsa yang tidak mudah melupakan jasa para pendahulu
yang berjuang demi kehidupan lebih baik untuk masa sekarang dan masa akan
datang.
Semangat yang demikian seharusnya kita
gunakan dalam upaya untuk membangun masa depan, agar setiap nilai positif yang
pernah ditanamkan oleh pendahulu kita tetap menjadi pegangan, sedangkan bagian
gelap dari sejarah masa lalu menjadi pelajaran penting untuk tidak diulangi
lagi. Masa pemerintahan Indonesia mulai dari zaman orde lama, orde baru, hingga
masa reformasi telah melahirkan sistem demokrasi seperti saat ini. Sistem
pemerintahan yang dianggap sebagai masa kegemilangan bagi pemberian hak dan
kebebasan dalam bingkai tanggung jawab. Sistem demokrasi menghembuskan angin
segar bagi partai politik baru. Puluhan partai politik yang menjamur ini
sebagai simbol nyata bergulirnya demokrasi di tubuh pemerintahan Indonesia.
Setiap lima tahun sekali dilaksanakan pemilu (pemilihan umum) untuk memilih
para elit politik yang akan menjadi wakil – wakil rakyat. Setiap lima tahun
pula bangsa Indonesia mempunyai hak untuk menyumbangkan suaranya kepada wakil
rakyat yang dikendakinya baik itu pemilihan anggota DPR, DPD, Pemimpin Daerah,
hingga Pemimpin Negara atau Presiden. Namun apakah setiap pergantian
kepemimpinan dan pemerintahan merupakan solusi untuk mencapai tujuan bangsa
Indonesia?
FAKTA TENTANG
HUKUM DI INDONESIA
Hingga saat ini masalah di hukum di
Tanah Air, masih menjadi “PR” untuk pemerintah. Paska reformasi, pemerintah
dianggap belum dapat mewujudkan keadilan untuk rakyat Indonesia. Masalah utama
bangsa adalah penegakan hukum dan keadilan, termasuk pemberantasan korupsi
mewujudkan reformasi birokrasi pemerintah, menentukan arah kebijakan
pembangunan yang jumlah penduduk dan kegiatan pembangunan yang hanya
terkonsentrasi di beberapa daerah saja hingga melampaui daya dukung.
Keadilan belum adil di Indonesia, baik
dalam norma hukum atau dalam masalah sosial ekonmomi. Kita semua tahu bahwa
lembaga penegakan hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan
sulit untuk diharapkan. Hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Hukum
Hanya Berlaku Bagi Pencuri Kakao, Pencuri Pisang, & Pencuri Semangka
‘(Koruptor Dilarang Masuk Penjara)’ ??
Mendengar kalimat diatas terasa aneh
memang, tapi itu lah kenyataan yang terjadi saat ini. Masih banyak kasus-kasus
ketidakadilan hukum yang terjadi di negara kita. Keadilan harus diposisikan
secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang
sama tanpa kecuali. Keadaan yang sebaliknya terjadi di Indonesia. Bagi
masyarakat kalangan bawah perlakuan ketidakadilan sudah biasa terjadi. Namun
bagi masyarakat kalangan atas atau pejabat yang punya kekuasaan sulit rasanya
menjerat mereka dengan tuntutan hukum. Bukankah ini tidak adil?
Sebagai contoh, Kasus Nenek Minah asal
Banyumas yang divonis 1,5 bulan kurungan adalah salah satu contoh ketidakadilan
hukum di Indonesia. Kasus ini berawal dari pencurian 3 buah kakao oleh Nenek
Minah. Penulis setuju apapun yang namanya tindakan mencuri adalah kesalahan.
Namun demikian jangan lupa hukum juga mempunyai prinsip kemanusiaan. Apakah
nenek – nenek yang yang buta huruf tersebut harus dihukum hanya karena
ketidaktahuan dan keawaman Nenek Minah tentang hukum?
Menyedihkan memang ketika menyaksikan
Nenek Minah duduk di depan pengadilan dengan wajah tuanya yang sudah keriput
dan tatapan kosongnya. Untuk datang ke sidang kasusnya ini Nenek Minah harus
meminjam uang sebesar Rp.30.000,- untuk biaya transportasi dari rumah ke
pengadilan yang memang jaraknya cukup jauh. Seorang Nenek Minah saja bisa
menghadiri persidangannya walaupun harus meminjam uang untuk biaya
transportasi. Seorang pejabat yang terkena kasus hukum mungkin banyak yang
mangkir dari panggilan pengadilan dengan alasan sakit yang kadang dibuat-buat.
Tidak malukah dia dengan Nenek Minah?. Pantaskah Nenek Minah dihukum hanya karena
mencuri 3 buah kakao yang harganya mungkin tidak lebih dari Rp.10.000,-?.
Dimana prinsip kemanusiaan itu? Adilkah ini bagi Nenek Minah?
Lalu bagaimana dengan koruptor kelas
kakap? Inilah sebenarnya yang menjadi ketidakadilan hukum yang terjadi di Indonesia.
Begitu sulitnya menjerat mereka dengan tuntutan hukum. Apakah karena mereka
punya kekuasaan, punya kekuatan, dan punya banyak uang sehingga bisa
mengalahkan hukum dan hukum tidak berlaku bagi mereka para koruptor? Sungguh
memprihatinkan memang melihat kondisi yang seperti ini.
Sangat mudah menjerat hukum terhadap
Nenek Minah, gampang sekali menghukum seorang yang hanya mencuri satu buah
semangka, begitu mudahnya menjebloskan ke penjara pasangan suami – istri yang
kedapatan mencuri pisang karena keadaan kemiskinan. Namun demikian sangat sulit
dan sangat berbelit-belit begitu akan menjerat para koruptor dan pejabat yang
tersandung masalah hukum di negeri ini. Ini sangat diskriminatif dan memalukan
sistem hukum dan keadilan di Indonesia. Apa bedanya seorang koruptor dengan
mereka-mereka itu?
Penulis tidak membenarkan tindakan
pencurian yang dilakukan oleh Nenek Minah dan mereka – mereka yang mempunyai
kasus seperti Nenek Minah. Penulis juga tidak membela perbuatan yang dilakukan
oleh Nenek Minah. Tetapi dimana keadilan hukum itu? Dimana prinsip kemanusian
itu? Seharusnya para penegak hukum mempunyai prinsip kemanusiaan dan bukan
hanya menjalankan hukum secara positifistik.
Inilah dinamika hukum di Indonesia, yang
menang adalah yang mempunyai kekuasaan, yang mempunyai uang banyak, dan yang
mempunyai kekuatan. Mereka pasti aman dari gangguan hukum walaupun aturan
negara dilanggar. Orang biasa seperti Nenek Minah dan teman-temannya itu, yang
hanya melakukan tindakan pencurian kecil langsung ditangkap dan dijebloskan ke
penjara. Sedangkan seorang pejabat negara yang melakukan korupsi uang negara
milyaran rupiah dapat berkeliaran dengan bebasnya.
Alangkah
Lucunya Negeri Ini
Mungkin banyak diantara kita yang tidak
asing dengan kalimat tersebut. Ini merupakan film drama komedi satire Indonesia
yang dirilis pada 15 April 2010 yang disutradarai oleh Deddy Mizwar. Film ini mencoba mengangkat potret nyata yang ada
dalam kehidupan bangsa Indonesia. Dari film tersebut, para penonton dapat
melihat alangkah lucunya negeri ini setelah memahaminya dengan seksama.
Berikut adalah beberapa poin yang
diambil dari film yang disutradari oleh Deddy
Mizwar tersebut yang membuktikan bahwa pemerintahan, hukum, dan keadilan di
Indonesia masih belum ditegakkan dengan semestinya.
- Pendidikan Yang Tidak Membebaskan
Kita semua sadar bahwa selama ini dunia
pendidikan di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan kurikulum. Namun
semua itu merupakan pendidikan yang tidak membebaskan. Itulah kurikulum kita.
Dimana kita selalu diajar dengan buku dan mendengarkan kata Pak/Bu Guru. Dimana
kita disajikan berbagai teori yang seringkali tidak cocok dengan realita yang
ada. Dimana kita selalu dihadapkan dengan papan tulis, pensil, buku, meja kayu,
dan seragam yang kaku.
“Kalian boleh menulis dengan cara
apapun, asal hasilnya menjadi huruf A.” Satu kritik terhadap pendidikan kita yang seringkali
dipenuhi kata harus. Memang lucu melihat cara – cara mereka dalam menulis huruf
A. namun kebebesan menentukan kemauan anak – anak untuk belajar.
Seandainya kita dapat menentukan
kurikulum sendiri, kita boleh memilih pelajaran mana yang ingin kita pelajari
terlebih dahulu, maka belajar akan terasa sungguh menyenangkan, dinamis, dan
jauh dari membosankan. Bukan sekedar mencari nilai. Adakah relevansi seragam
dengan kecerdasan? Adakah relevansi definisi absolut dari sebuah buku dengan
pemahaman murid? Maka lepaskan semua ketidakbebasan. Karena ilmu pengetahuan
jauh lebih bebas, jauh lebih liar, dan jauh lebih luas.
Mengejar nilai, itulah yang diterapkan di
sekolah-sekolah konvensional. Dengan sistem kaku yang menjemukan. Yang
memberikan nilai kuantitatif tanpa ada relasinya dengan kecerdasan. Suatu
sistem yang juga dikritik lewat film India 3
idiots. Suatu sistem yang juga dilanggengkan di Indonesia.
- Koruptor : Profesi untuk yang Berpendidikan
Lagi-lagi pendidikan dikritik.
Pendidikan membuat orang menjadi pintar. Bukan hanya lebih pintar dalam
mengelola negara, tetapi juga lebih pintar mengeruk uang negara. Nyatanya
pendidikan tidak membuat orang taat hukum. Pendidikan tidak membuat orang mampu
membedakan mana uang mereka dan yang bukan. Pendidikan tidak membuat orang bisa
menbedakan yang benar dan yang salah. Tanpa pendidikan orang hanya bisa jadi
copet. Dengan pendidikan, orang bisa jadi koruptor.
- Sebuah Dilema: Budi Luhur vs Haram
Dalam film tersebut, yang dilakukan
Muluk, Pipit, dan Syamsul, adalah satu tindakan progresif untuk mengembangkan
Komet dan kawan-kawan. Tindakan mereka patut diacungi jempol. Walau bertahap,
namun arah mereka jelas, untuk membantu teman-teman kecil mereka meninggalkan
profesi haram mereka. Toh segala sesuatunya tidak bisa instan. Nyatanya mereka
tetap butuh uang. Dan jadilah mereka digaji dari hasil mencopet murid-murid
mereka.
Kenyataan itu begitu pahit ditelan oleh
orang tua Pipit dan Muluk. Uang haram telah mengalir di darah mereka. Kedua
sahabat seperguruan pesantren itu menangis. Meratapi jerih payah mereka selama
ini untuk selalu jujur, selalu memberi makan dan membesarkan anak mereka dengan
uang yang halal. Kenyataannya, anak mereka mendapatkan uang haram.
Di satu sisi, perbuatan mereka adalah
budi luhur untuk membantu orang lain. Namun nilai agama mengutuki mereka.
Menyudutkan apa yang mereka lakukan ke tempat yang haram, ke tempat yang salah,
ke tempat yang dosa. Ingatkan kata-kata Pipit? Seandainya Pipit anak orang
kaya, tidak membutuhkan uang, dia akan melakukan pekerjaan itu, mendidik
anak-anak itu tanpa mengambil bagian uang hasil mencopet mereka. Apa mau
dikata, Pipit butuh uang untuk kehidupan sehari-harinya.
- DPR: Bukan Cerdas yang Dicari
Dalam film tersebut juga mengisahkan
seorang calon anggota legislatif yang bernama Jupri dari Partai Asam Lambung.
Semua pasti tertawa begitu melihat apa yang ia tunjukan kepada Rohmah. Gambar
ikan, itu saja. Laptop itu tidak untuk mengetik visi misi, program, dan
renstra. Tidak untuk menjabarkan permasalahan rakyat dan penanggulangannya.
Tidak juga berisikan data-data kebutuhan rakyat yang akan menjadi knstituennya.
Mungkin adegan ini mengingatkan kita
pada satu peristiwa. Ketika anggota DPR menuntut untuk dibelikan sebuah laptop,
dan kita pun bertanya-tanya. “Apa mereka semua bisa menggunakannya?”
- Penegak Hukum = Bos Mafia
Dua orang berbadan besar, menghampiri
Muluk, Jarot, dan kawan – kawan kecilnya. menegur dan bertanya, “Omset lagi
gede ni?” Terlihat oleh kita, Jarot memberikan lipatan rupiah kepada salah satu
dari mereka, dan mereka pun pergi. Muluk pun bertanya siapa mereka. Anak-anak
butuh pelindung. Jarot lah yang melindungi. Jarot pun butuh pelindung. Kedua
orang itulah yang melindungi. Polisi, sudah pasti profesi itulah yang terlintas
di kepala kita. mereka berdua pasti polisi.
Di banyak negara, mafia diburu. Mafia
menjadi musuh penegak hukum. Mereka dengan gerakan bawah tanahnya senantiasa
berhadapan dengan polisi. Tapi di Indonesia, di negeri yang alangkah lucunya
ini, justru mafia tersebut berasal dari penegak hukum.
- Pedagang Asongan vs Koruptor
Pedagang Asongan diburu Sat Pol PP.
Sementara koruptor dibiarkan bebas begitu saja. Kenapa? Karena koruptor tidak
mengganggu jalan. Karena itu, daripada mengganggu jalan dengan berdagang
asongan, lebih baik merusak jalan, dengan mengkorup dana pembangunan jalan
tersebut sehingga pembangunannya tidak maksimal.
- Ending yang Menampar: “Law in the book vs Law in action”
Muluk tampak tersenyum senang. Setelah
mati – matian mengajarkan mereka. Memberikan pemahaman moral, pancasila, dan
agama. Membuat mereka mengerti mana yang haram dan mana yang halal. Mendapat
penolakan dan keengganan untuk berubah. Akhirnya kotak asongan yang dibelinya
dipakai juga oleh Komet dan kelima temannya. Komet dan teman-temannya pun
senang bisa melihat Muluk lagi. Mereka saling menyapa, melambaikan tangan dan
tertawa bahagia. Syamsul pun pernah bilang , “kalau jadi tukang asongan, kalian
tidak akan dikejar polisi lagi.”
Tiba-tiba tawa Muluk berubah.
Kekhawatiran membayangi wajahnya ketika ia berteriak sambil berusaha keluar
dari mobil. “Lari,” ujarnya. Komet dan kawan-kawan pun lari seketika. Mereka
memang tak dikejar polisi, mereka juga tidak dikejar massa. Tapi mereka dikejar
sat Pol PP yang siap menggaruk pedagang asongan, gelandangan, pengemis, dan
anak jalanan.
Mencopet adalah pekerjaan haram. Risiko
ditangkap, dipenjara, dan digebuki massa pun menjadi tantangan yang biasa. Dan
ketika niat berubah sudah dilaksanakan, profesi mencopet sudah ditinggalkan,
toh mereka dikejar-kejar juga.
Belum
Ada Solusi
Itulah beberapa poin yang dapat kita
ambil dari film “Alangkah lucunya negeri ini”. Bagi orang yang berharap kisah
ini akan berakhir bahagia, tidak akan menemukan apa yang dicari dalam film
tersebut. Sepotong kalimat dari UUD 1945 mengakhiri film tersebut. Sepotong
kata yang semakin absurd, yang jelas diakui dan wajib dijalankan oleh negara
karena tertuang dalam landasan hukum tertinggi negeri kita.
Film ini tak menyajikan akhir yang
menjawab pertanyaan kita. Dia hanya mengangkat realita yang ada. Yang
dibenturkan dengan “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.”
Satu tamparan besar bagi negeri ini. Apa yang ada di UUD, sama sekali tak
terjadi. Belum ada solusi, kita dapat berasumsi Dedy Mizwar pun belum bisa menemukan solusi. Memangnya solusi apa
yang dapat kita dapatkan dalam kondisi negeri sekarang ini? Saking ‘ajaibnya’ Indonesia, saking ‘istimewanya’ sistem hukum dan
pemerintahan kita. Belum ada solusi, di Negeri yang alangkah gilanya ini.
0 komentar:
Posting Komentar