Selasa, Juni 17, 2014

on


Sudah hampir 69 tahun bangsa Indonesia hidup dalam balutan kemerdekaan dan dalam waktu yang cukup lama itu negara ini telah menerapkan sistem presidensial, walaupun untuk beberapa tahun sempat beralih ke sistem parlementer. Sejak bangsa Indonesia memproklamasikan kemeerdekaannya pada tahun 1945 sampai dengan saat ini, Indonesia telah berganti pemimpin negara sebanyak enam kali. Memang tidak mudah untuk melewati masa – masa tempo dulu tersebut, hingga kini kita dapat menghirup udara yang setidaknya merupakan hasil dari perjuangan para pendahulu kita. Banyak sudah waktu yang tersita, darah yang ditumpahkan, jiwa yang dikorbankan bagi tercapainya cita – cita luhur bangsa. Sejarah yang kemudian tercatat dengan tinta – tinta emas dalam bilik buku yang kini mungkin hanya berbentuk kumpulan-kumpulan kertas kusam.

Bung Karno, presiden pertama Indonesia pernah mengingatkan tentang istilah Jasmerah (Jangan Sekali-Sekali Melupakan Sejarah), sebab kenangan akan sejarah teramat berharga dalam mengenali jati diri bangsa. Bangsa yang kuat adalah bangsa yang menghargai sejarahnya, bangsa yang tidak mudah melupakan jasa para pendahulu yang berjuang demi kehidupan lebih baik untuk masa sekarang dan masa akan datang.

Semangat yang demikian seharusnya kita gunakan dalam upaya untuk membangun masa depan, agar setiap nilai positif yang pernah ditanamkan oleh pendahulu kita tetap menjadi pegangan, sedangkan bagian gelap dari sejarah masa lalu menjadi pelajaran penting untuk tidak diulangi lagi. Masa pemerintahan Indonesia mulai dari zaman orde lama, orde baru, hingga masa reformasi telah melahirkan sistem demokrasi seperti saat ini. Sistem pemerintahan yang dianggap sebagai masa kegemilangan bagi pemberian hak dan kebebasan dalam bingkai tanggung jawab. Sistem demokrasi menghembuskan angin segar bagi partai politik baru. Puluhan partai politik yang menjamur ini sebagai simbol nyata bergulirnya demokrasi di tubuh pemerintahan Indonesia. Setiap lima tahun sekali dilaksanakan pemilu (pemilihan umum) untuk memilih para elit politik yang akan menjadi wakil – wakil rakyat. Setiap lima tahun pula bangsa Indonesia mempunyai hak untuk menyumbangkan suaranya kepada wakil rakyat yang dikendakinya baik itu pemilihan anggota DPR, DPD, Pemimpin Daerah, hingga Pemimpin Negara atau Presiden. Namun apakah setiap pergantian kepemimpinan dan pemerintahan merupakan solusi untuk mencapai tujuan bangsa Indonesia?



FAKTA TENTANG HUKUM DI INDONESIA

Hingga saat ini masalah di hukum di Tanah Air, masih menjadi “PR” untuk pemerintah. Paska reformasi, pemerintah dianggap belum dapat mewujudkan keadilan untuk rakyat Indonesia. Masalah utama bangsa adalah penegakan hukum dan keadilan, termasuk pemberantasan korupsi mewujudkan reformasi birokrasi pemerintah, menentukan arah kebijakan pembangunan yang jumlah penduduk dan kegiatan pembangunan yang hanya terkonsentrasi di beberapa daerah saja hingga melampaui daya dukung.

Keadilan belum adil di Indonesia, baik dalam norma hukum atau dalam masalah sosial ekonmomi. Kita semua tahu bahwa lembaga penegakan hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan sulit untuk diharapkan. Hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas.



Hukum Hanya Berlaku Bagi Pencuri Kakao, Pencuri Pisang, & Pencuri Semangka ‘(Koruptor Dilarang Masuk Penjara)’ ??

Mendengar kalimat diatas terasa aneh memang, tapi itu lah kenyataan yang terjadi saat ini. Masih banyak kasus-kasus ketidakadilan hukum yang terjadi di negara kita. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali. Keadaan yang sebaliknya terjadi di Indonesia. Bagi masyarakat kalangan bawah perlakuan ketidakadilan sudah biasa terjadi. Namun bagi masyarakat kalangan atas atau pejabat yang punya kekuasaan sulit rasanya menjerat mereka dengan tuntutan hukum. Bukankah ini tidak adil?

Sebagai contoh, Kasus Nenek Minah asal Banyumas yang divonis 1,5 bulan kurungan adalah salah satu contoh ketidakadilan hukum di Indonesia. Kasus ini berawal dari pencurian 3 buah kakao oleh Nenek Minah. Penulis setuju apapun yang namanya tindakan mencuri adalah kesalahan. Namun demikian jangan lupa hukum juga mempunyai prinsip kemanusiaan. Apakah nenek – nenek yang yang buta huruf tersebut harus dihukum hanya karena ketidaktahuan dan keawaman Nenek Minah tentang hukum?

Menyedihkan memang ketika menyaksikan Nenek Minah duduk di depan pengadilan dengan wajah tuanya yang sudah keriput dan tatapan kosongnya. Untuk datang ke sidang kasusnya ini Nenek Minah harus meminjam uang sebesar Rp.30.000,- untuk biaya transportasi dari rumah ke pengadilan yang memang jaraknya cukup jauh. Seorang Nenek Minah saja bisa menghadiri persidangannya walaupun harus meminjam uang untuk biaya transportasi. Seorang pejabat yang terkena kasus hukum mungkin banyak yang mangkir dari panggilan pengadilan dengan alasan sakit yang kadang dibuat-buat. Tidak malukah dia dengan Nenek Minah?. Pantaskah Nenek Minah dihukum hanya karena mencuri 3 buah kakao yang harganya mungkin tidak lebih dari Rp.10.000,-?. Dimana prinsip kemanusiaan itu? Adilkah ini bagi Nenek Minah?

Lalu bagaimana dengan koruptor kelas kakap? Inilah sebenarnya yang menjadi ketidakadilan hukum yang terjadi di Indonesia. Begitu sulitnya menjerat mereka dengan tuntutan hukum. Apakah karena mereka punya kekuasaan, punya kekuatan, dan punya banyak uang sehingga bisa mengalahkan hukum dan hukum tidak berlaku bagi mereka para koruptor? Sungguh memprihatinkan memang melihat kondisi yang seperti ini.

Sangat mudah menjerat hukum terhadap Nenek Minah, gampang sekali menghukum seorang yang hanya mencuri satu buah semangka, begitu mudahnya menjebloskan ke penjara pasangan suami – istri yang kedapatan mencuri pisang karena keadaan kemiskinan. Namun demikian sangat sulit dan sangat berbelit-belit begitu akan menjerat para koruptor dan pejabat yang tersandung masalah hukum di negeri ini. Ini sangat diskriminatif dan memalukan sistem hukum dan keadilan di Indonesia. Apa bedanya seorang koruptor dengan mereka-mereka itu?
Penulis tidak membenarkan tindakan pencurian yang dilakukan oleh Nenek Minah dan mereka – mereka yang mempunyai kasus seperti Nenek Minah. Penulis juga tidak membela perbuatan yang dilakukan oleh Nenek Minah. Tetapi dimana keadilan hukum itu? Dimana prinsip kemanusian itu? Seharusnya para penegak hukum mempunyai prinsip kemanusiaan dan bukan hanya menjalankan hukum secara positifistik.

Inilah dinamika hukum di Indonesia, yang menang adalah yang mempunyai kekuasaan, yang mempunyai uang banyak, dan yang mempunyai kekuatan. Mereka pasti aman dari gangguan hukum walaupun aturan negara dilanggar. Orang biasa seperti Nenek Minah dan teman-temannya itu, yang hanya melakukan tindakan pencurian kecil langsung ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Sedangkan seorang pejabat negara yang melakukan korupsi uang negara milyaran rupiah dapat berkeliaran dengan bebasnya.



Alangkah Lucunya Negeri Ini
Mungkin banyak diantara kita yang tidak asing dengan kalimat tersebut. Ini merupakan film drama komedi satire Indonesia yang dirilis pada 15 April 2010 yang disutradarai oleh Deddy Mizwar. Film ini mencoba mengangkat potret nyata yang ada dalam kehidupan bangsa Indonesia. Dari film tersebut, para penonton dapat melihat alangkah lucunya negeri ini setelah memahaminya dengan seksama.

Berikut adalah beberapa poin yang diambil dari film yang disutradari oleh Deddy Mizwar tersebut yang membuktikan bahwa pemerintahan, hukum, dan keadilan di Indonesia masih belum ditegakkan dengan semestinya.

  • Pendidikan Yang Tidak Membebaskan
Kita semua sadar bahwa selama ini dunia pendidikan di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan kurikulum. Namun semua itu merupakan pendidikan yang tidak membebaskan. Itulah kurikulum kita. Dimana kita selalu diajar dengan buku dan mendengarkan kata Pak/Bu Guru. Dimana kita disajikan berbagai teori yang seringkali tidak cocok dengan realita yang ada. Dimana kita selalu dihadapkan dengan papan tulis, pensil, buku, meja kayu, dan seragam yang kaku.
“Kalian boleh menulis dengan cara apapun, asal hasilnya menjadi huruf A.” Satu kritik  terhadap pendidikan kita yang seringkali dipenuhi kata harus. Memang lucu melihat cara – cara mereka dalam menulis huruf A. namun kebebesan menentukan kemauan anak – anak untuk belajar.

Seandainya kita dapat menentukan kurikulum sendiri, kita boleh memilih pelajaran mana yang ingin kita pelajari terlebih dahulu, maka belajar akan terasa sungguh menyenangkan, dinamis, dan jauh dari membosankan. Bukan sekedar mencari nilai. Adakah relevansi seragam dengan kecerdasan? Adakah relevansi definisi absolut dari sebuah buku dengan pemahaman murid? Maka lepaskan semua ketidakbebasan. Karena ilmu pengetahuan jauh lebih bebas, jauh lebih liar, dan jauh lebih luas.

Mengejar nilai, itulah yang diterapkan di sekolah-sekolah konvensional. Dengan sistem kaku yang menjemukan. Yang memberikan nilai kuantitatif tanpa ada relasinya dengan kecerdasan. Suatu sistem yang juga dikritik lewat film India 3 idiots. Suatu sistem yang juga dilanggengkan di Indonesia.

  • Koruptor : Profesi untuk yang Berpendidikan
Lagi-lagi pendidikan dikritik. Pendidikan membuat orang menjadi pintar. Bukan hanya lebih pintar dalam mengelola negara, tetapi juga lebih pintar mengeruk uang negara. Nyatanya pendidikan tidak membuat orang taat hukum. Pendidikan tidak membuat orang mampu membedakan mana uang mereka dan yang bukan. Pendidikan tidak membuat orang bisa menbedakan yang benar dan yang salah. Tanpa pendidikan orang hanya bisa jadi copet. Dengan pendidikan, orang bisa jadi koruptor.


  • Sebuah Dilema: Budi Luhur vs Haram
Dalam film tersebut, yang dilakukan Muluk, Pipit, dan Syamsul, adalah satu tindakan progresif untuk mengembangkan Komet dan kawan-kawan. Tindakan mereka patut diacungi jempol. Walau bertahap, namun arah mereka jelas, untuk membantu teman-teman kecil mereka meninggalkan profesi haram mereka. Toh segala sesuatunya tidak bisa instan. Nyatanya mereka tetap butuh uang. Dan jadilah mereka digaji dari hasil mencopet murid-murid mereka.

Kenyataan itu begitu pahit ditelan oleh orang tua Pipit dan Muluk. Uang haram telah mengalir di darah mereka. Kedua sahabat seperguruan pesantren itu menangis. Meratapi jerih payah mereka selama ini untuk selalu jujur, selalu memberi makan dan membesarkan anak mereka dengan uang yang halal. Kenyataannya, anak mereka mendapatkan uang haram.

Di satu sisi, perbuatan mereka adalah budi luhur untuk membantu orang lain. Namun nilai agama mengutuki mereka. Menyudutkan apa yang mereka lakukan ke tempat yang haram, ke tempat yang salah, ke tempat yang dosa. Ingatkan kata-kata Pipit? Seandainya Pipit anak orang kaya, tidak membutuhkan uang, dia akan melakukan pekerjaan itu, mendidik anak-anak itu tanpa mengambil bagian uang hasil mencopet mereka. Apa mau dikata, Pipit butuh uang untuk kehidupan sehari-harinya.

  • DPR: Bukan Cerdas yang Dicari
Dalam film tersebut juga mengisahkan seorang calon anggota legislatif yang bernama Jupri dari Partai Asam Lambung. Semua pasti tertawa begitu melihat apa yang ia tunjukan kepada Rohmah. Gambar ikan, itu saja. Laptop itu tidak untuk mengetik visi misi, program, dan renstra. Tidak untuk menjabarkan permasalahan rakyat dan penanggulangannya. Tidak juga berisikan data-data kebutuhan rakyat yang akan menjadi knstituennya.

Mungkin adegan ini mengingatkan kita pada satu peristiwa. Ketika anggota DPR menuntut untuk dibelikan sebuah laptop, dan kita pun bertanya-tanya. “Apa mereka semua bisa menggunakannya?”

  • Penegak Hukum = Bos Mafia
Dua orang berbadan besar, menghampiri Muluk, Jarot, dan kawan – kawan kecilnya. menegur dan bertanya, “Omset lagi gede ni?” Terlihat oleh kita, Jarot memberikan lipatan rupiah kepada salah satu dari mereka, dan mereka pun pergi. Muluk pun bertanya siapa mereka. Anak-anak butuh pelindung. Jarot lah yang melindungi. Jarot pun butuh pelindung. Kedua orang itulah yang melindungi. Polisi, sudah pasti profesi itulah yang terlintas di kepala kita. mereka berdua pasti polisi.

Di banyak negara, mafia diburu. Mafia menjadi musuh penegak hukum. Mereka dengan gerakan bawah tanahnya senantiasa berhadapan dengan polisi. Tapi di Indonesia, di negeri yang alangkah lucunya ini, justru mafia tersebut berasal dari penegak hukum.

  • Pedagang Asongan vs Koruptor
Pedagang Asongan diburu Sat Pol PP. Sementara koruptor dibiarkan bebas begitu saja. Kenapa? Karena koruptor tidak mengganggu jalan. Karena itu, daripada mengganggu jalan dengan berdagang asongan, lebih baik merusak jalan, dengan mengkorup dana pembangunan jalan tersebut sehingga pembangunannya tidak maksimal.

  • Ending yang Menampar: “Law in the book vs Law in action”
Muluk tampak tersenyum senang. Setelah mati – matian mengajarkan mereka. Memberikan pemahaman moral, pancasila, dan agama. Membuat mereka mengerti mana yang haram dan mana yang halal. Mendapat penolakan dan keengganan untuk berubah. Akhirnya kotak asongan yang dibelinya dipakai juga oleh Komet dan kelima temannya. Komet dan teman-temannya pun senang bisa melihat Muluk lagi. Mereka saling menyapa, melambaikan tangan dan tertawa bahagia. Syamsul pun pernah bilang , “kalau jadi tukang asongan, kalian tidak akan dikejar polisi lagi.”

Tiba-tiba tawa Muluk berubah. Kekhawatiran membayangi wajahnya ketika ia berteriak sambil berusaha keluar dari mobil. “Lari,” ujarnya. Komet dan kawan-kawan pun lari seketika. Mereka memang tak dikejar polisi, mereka juga tidak dikejar massa. Tapi mereka dikejar sat Pol PP yang siap menggaruk pedagang asongan, gelandangan, pengemis, dan anak jalanan.

Mencopet adalah pekerjaan haram. Risiko ditangkap, dipenjara, dan digebuki massa pun menjadi tantangan yang biasa. Dan ketika niat berubah sudah dilaksanakan, profesi mencopet sudah ditinggalkan, toh mereka dikejar-kejar juga.


Belum Ada Solusi
Itulah beberapa poin yang dapat kita ambil dari film “Alangkah lucunya negeri ini”. Bagi orang yang berharap kisah ini akan berakhir bahagia, tidak akan menemukan apa yang dicari dalam film tersebut. Sepotong kalimat dari UUD 1945 mengakhiri film tersebut. Sepotong kata yang semakin absurd, yang jelas diakui dan wajib dijalankan oleh negara karena tertuang dalam landasan hukum tertinggi negeri kita.

Film ini tak menyajikan akhir yang menjawab pertanyaan kita. Dia hanya mengangkat realita yang ada. Yang dibenturkan dengan “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.” Satu tamparan besar bagi negeri ini. Apa yang ada di UUD, sama sekali tak terjadi. Belum ada solusi, kita dapat berasumsi Dedy Mizwar pun belum bisa menemukan solusi. Memangnya solusi apa yang dapat kita dapatkan dalam kondisi negeri sekarang ini? Saking ‘ajaibnya’ Indonesia, saking ‘istimewanya’ sistem hukum dan pemerintahan kita. Belum ada solusi, di Negeri yang alangkah gilanya ini.


0 komentar:

Posting Komentar